Selasa, 11 Mei 2010

Manajemen Zakat dan Wakaf

PAJAK DAN ZAKAT

PENDAHULUAN

Permasalahan pajak dan zakat selalu merupakan topik menarik. Dari sudut yang sempit kegiatan keduanya adalah sama yaitu menyerahkan sesuatu, tepatnya uang, kepada pemerintah atau badan yang dipercaya untuk menangani hal itu. akibatnya timbul keberatan atau paling tidak pertanyaan bahwa jika keduanya merupakan hal yang sama, kenapa kita harus melaksanakan keduanya, yang akan menggandakan pengeluaran kita.

Banyak orang berusaha menyamakan antara zakat dan pajak, sehingga konsekwensinya ketika seseorang sudah membayar pajak maka gugurlah pembayaran zakatnya. Sementara sebagian lain menolak bahwa zakat sama dengan pajak atau sebagai alternatif dari kewajiban zakat. Zakat dan pajak adalah dua pungutan wajib yang memiliki karakteristik berbeda.

Pembayaran pajak merupakan kewajiban seorang warga Negara. Sementara pembayaran zakat merupakan kewajiban seorang muslim sebagai pembersih harta seorang Muslim. Karena, di dalam harta yang dimiliki terdapat juga hak-hak orang lain.[1]

A. HAKIKAT ZAKAT DAN PAJAK

1. ZAKAT

Zakat, secara etimologi atau asal usul kata adalah dari bahasa Arab berasal dari kata dasar (mashsar) zaka yang berarti, berkah, tumbuh, bertambah, berkembang, bersih, suci, baik, baik, terpuji, diimani sebagai salah satu rukun Islam oleh umat muslim yang bersumber wahyu Allah dan sunah rasul.

Di negara kita Indonesia zakat telah didefinisikan dengan resmi melalui ketentuan undang-undang sebagai “harta yang wajib disisikan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki orang muslim sesuai dengan ketentuan agama islam untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. Definisi ini tidak jauh berbeda dengan pengertian yang disepakati oleh empat mazhab Maliki, Syafi’I, Hanafi, dan Hambali serta Yusuf Qardawi bahwa zakat adalah mengeluarkan bagian tertentu dari harta dan menyerahkannya kepada yang berhak menerimanya.

Al- Qur’an yang diimani sebagai wahyu Allah, tidak menjelaskan bahwa zakat adalah mengeluarkan bagian tertentu dari harta dan menyerahkannya kepada yang berhak menerimanya sebagai mana ditentukan oleh (ulama) fiqih dan mazhab-mazhab atau perundang-undangan zakat dinegara kita. Ayat-ayat al- Qur’an yang umumnya dan utama dipakai sebagai sandaran pengertian atau definisi zakat adalah surat At- Taubah ayat 58, 60, 103, 104 yang melafalkan shadaqah bukan zaka. Semuan ayat tersebut adalah tentang zakat tetapi diungkapkan dengan istilah shadaqah.

Zakat yang tidak disalurkan melalui amil atau lembaga zakat tidak dapat dinamakan zakat melainkan hanya sedekah, sekedar sumbangan kedermawanan. Apabila al-Qura’an sebagai pedoman meletakan lembaga amil zakat pada urutan pertama segera sesudah fakir miskin, hal ini dimaksudkan untuk menunjukan betapa pentingnya lembaga tersebut dalam system perzakatan.[2]

2. PAJAK

Pajak secara etimologi adalah pungutan wajib, biasanya berupa uang yang harus dibayar oleh penduduk sebagai sumbangan wajib kepada negara atau pemerintah sehubungan dengan pendapatan, pemilikan, harga beli barang, dan sebagainya. Dilihat dari definisi tersebut maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa pajak ada unsure pemaksaan, karena ada kata-kata pungutan wajib dan sebagai sumbangan wajib. Sementara tujuan pajak adalah untuk menggali dana atau uang sebanyak- banyaknya tanpa melihat dan memandang orang kaya ataupun miskin.[3]

Rachmat Sumitro (1987: 5) mendefinisikan bahwa, “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal (kontraprestasi) langsung yang langsung dapat ditunjukan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.

Dari definisi tersebut diatas dapat dijabarkan lima unsure yang menjadi cirri pajak, yaitu: (1) Iuran rakyat atau keikut sertaan masyarakat dalam pembiayaan Negara dan pembangunan nasional. (2) Harus disetor ke kas Negara. (3) Berdasarkan Undang-undang. (4) Tidak mendapat balas jasa langsung (untuk pembayarannya). (5) Digunakan untuk pengeluaran umum negara.[4]

B. ASAS TEORI WAJIB PAJAK DAN ZAKAT

1. Dasar Kewajiban Zakat Dan Pajak

Kewajiban zakat bersumber pada wahyu Allah dan menurut penjelasan yang diberikan oleh Rasul. Oleh karena itu zakat adalah kewajiban agama dan merupakan salah satu rukun dari rukun Islam. Walaupun di dalamnya terdapat unsur kewajiban materi, kedudukannya adalah sebagai ibadah yang setarap dengan ibadah-ibadah lainnya. Kewajiban ini khusus diberikan kepada orang Islam. Kedudukannya sebagai ibadah itu menjadi motivasi yang kuat terhadap umat Islam di dalam pelaksanaannya.

Kewajiban pajak bersumber pada peraturan perundangan yang ditetapkan pemerintah melalui badan yang berwenang untuk itu, suatu kewajiban pribadi atau badan yang berlaku bagi setiap warga negara. Bagi umat Islam kedua kewajiban itu adalah sama, meskipun dari segi motivasi pelaksanaannya, zakat lebih kuat meskipun tanpa sanksi, karena hubungannya antara hamba dengan Allah. Pada pajak hanya terdapat hubungan antara hamba dengan penguasa negara yang mewajibkan pajak tersebut.[5]

2. Subyek atau Wajib Zakat dan Pajak

v Subyek atau Wajib Zakat

Subyek atau wajib zakat di sebut dengan Muzakki. Definisi muzakki juga telah ditetapkan dalam UU Zakat (Ps. 1 butir 3) yaitu, “Muzakki adalah orang atau badan yang dimiliki orang muslim yang berkewajiban untuk menunaikan zakat.[6] Dibawah ini merupakan subyek atau wajib zakat:

o Orang yang beragama Islam (muslim)

o Badan yang dimiliki oleh orang muslim, yang berkewajiban menunaikan zakat.

o Dalam hal muzakki berada atau menetap di luar negeri, pengumpulan zakatnmya dilakukan oleh Perwakilan RI di Luar Negeri[7]

v Subyek atau Wajib Pajak

Subyek pajak sering disamakan dengan wajib pajak yaitu orang atau badan yang diwajibkan untuk melaksanakan kewajiban perpajakan. Begitu ringkas definisi ini sehingga terbuka untuk segala macam penafsiran, yaitu: (1) Apakah orang atau badan berada diIndonesia atau diluar negeri. (2) Nama dan bentuk badan, apakah berstatus badan hokum atau tidak (3) Melakukan kegiatan usaha bisnis bertujuan mencari laba atau tidak (badan amal) sekalipun.[8] Dibawah ini merupakan subyek atau wajib pajak:

o Orang pribadi penduduk Indonesia

o Badan yang didirikan / berkedudukan di Indonesia

o Warisan yang belum terbagi sebagai pengganti yang berhak

o Penduduk Luar Negeri dan badan Luar Negeri yang melakukan kegiatan usaha di Indonesia atau menerima/memperoleh penghasilan di Indonesia.[9]

C. Objek dan Prinsip Zakat dan Pajak

1. Objek Zakat dan Pajak

Ø Objek Zakat

Objek zakat adalah segala barang yang bernilai ekonomis yang dapat dipergunakan untuk menutupi kehidupan manusia. Perinciannya berkembang sesuai dengan keadaan, tempat dan tingkat kehidupan, yang secara sederhana dapat dikelompokkan pada tiga hal pokok. Pertama kekayaan yang mencakup kekayaan dalam bentuk barang berharga (emas, perak, platina dan perhiasan lainnya), kekayaan hasil pertanian dan perniagaan. Kedua pendapatan yang bersumber dari harta perniagaan dan perindustrian serta pendapatan dari hasil usaha investasi dan profesi. Ketiga berbentuk zakat pribadi yang kita kenal dengan sebutan zakat fitrah. Benda-benda yang harus dikeluarkan zakatnya secara eksplisit dikemukakan dalam UU pengelolaan zakat No.38 Tahun 1999 Bab IV tentang pengumpulan zakat pasal 11 ayat ( 1 ) menyatakan bahwa zakat terdiri atas zakat maal dan fitrah. Pada ayat ( 2 ) dikemukakan bahwa harta yang dikenai adalah :

  • Emas, perak, dan uang
  • Perdagangan dan perusahaan.
  • Hasil pertanian, perkebunan dan hasil perikanan
  • Hasil pertambangan
  • Hasil peternakan
  • Hasil pendapatan dan jasa
  • Rikaz (barang temuan)

Ø Objek Pajak

Pada dasarnya harta yang melalui sumber zakat, juga termasuk apa yang dikenai kewajiban pajak. Hanya dalam pajak lebih terperinci dan luas mencakup pajak penghasilan (PPh), pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPBNM).

Kewajiban pajak kadarnya ditetapkan oleh negara sesuai dengan kebutuhan. Sifatnya relatif bisa berlebih dan berkurang sesuai dengan situasi dan kondisi pendukungnya. Bahkan bila pada suatu waktu negara tidak membutuhkannya lagi karena ada sumber dana lain, maka pajak dapat dihapuskan. Objek zakat meliputi:

  • Penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari Luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
  • Sumber−sumber penghasilan:
    • Pekerjaan/pekerjaan bebas yaitu: gaji, honorarium, imbalan jasa, dll
    • Usaha, yaitu: keuntungan
    • Harta, yaitu: bunga, dividen, sewa, royalti, keuntungan penjualan harta, dll
    • Lain−lain, yaitu: hadiah, pembebasan utang, dll[10]

2. Prinsip Zakat dan Pajak

Ø Prinsip Zakat

a. Harta harus mencapai nisab (setelah dikurangi kebutuhan-kebutuhan pokok). Nisab nya senilai 85 gram emas, kewajiban zakatnya sebesar 2,5%.

b. Harta itu harus mencapai setahun umurnya.

c. Kewajiban mengeluarkan zakat tiap tahun

d. Harta yang waji dizakati adalah harta yang tidak terpakai (nganggur) dan bisa dikembangkan[11]

Ø Prinsip Pajak

“Empat prinsip “the fourmaxims”, pemungutan pajak menurut Adam Smith:

  1. Pembagian tekanan pajak diantara subyek atau wajib pajak masing-masing hendaknya seimbang, “equality” dengan kemampuannya.
  2. Pajak yang harus dibayar harus jelas dan terang (certain)
  3. Dipungut pada saat yang paling baik bagi wajib pajak, yaitu sedekat-dekatnya dengan saat diterimanya penghasilan.
  4. Biaya pemungutan harus semurah-murahnya.[12]

D. Tarif Tetap dan Bertingkat Pada Pajak dan Zakat

    1. Tarif Zakat

Kadar zakat ditetapkan oleh agama melalui wahyu Allah, maka kadar kewajibannya bersifat sangat ijbari yakni pasti dan tertentu, tidak dapat dilebihkan atau dikurangkan dari yang ditetapkan. Kewajiban ini tetap ada selamanya, meskipun pada suatu waktu pihak yang berhak menerimanya tidak ditemukan lagi.

Perbedaan mengenai kadar zakat oleh para ulama fikih sangat mengandung ketidakadilan. Petani yang segala susah payah memperoleh 1000 kg beras setahun, wajib mengeluarkan zakat 10 %. Bila harga beras per kg Rp.. 4.000,- penghasilan setahunnya adalah Rp. 4.000.000,-. Jadi petani itu harus mengeluarkan zakat Rp. 400.000.

Seorang dokter yang tarifnya Rp. 50.000,- untuk sekali konsultasi, bila setiap kerja kecuali sabtu minggu didatangi 20 orang pasien saja, kira-kira setahun dokter itu akan memperoleh 300x20xRp. 50.000,- = Rp. 300.000.000,- dengan begitu mudahnya, hanya 2.5 % berdasarkan hadist Rasulullah Saw yang diqiyaskan kepada zakat uang perak 1/40, (Hr. Bukhari Muslim).

    1. Tarif Pajak

Secara teori tarif pajak adalah perbandingan antara jumlah pajak dengan jumlah dasar pengenaan pajak yang dapat dilihat dalam rumus berikut:

T = (P : D) X 100%

T = Tarif Pajak

P = Jumlah Pajak

D=Jumlah Uang Dasar Pengenaan Pajak

“Secara sederhana dapat diilustrasikan misalnya:

P = Rp. 1.000 D = 10.000

Maka tarif pajak adalah 10%. Karena (1.000 : 10.000) x 100% = 10%

Secara teoritis terdapat empat macam pajak berdasarkan perbandingan tersebut: (1) Tarif Proporsional (2) Tarif Progressif (3) Tarif Regresif (4) Tarif Tetap.

  • Tarif Proporsional, bila pajak yang dihasilkan dibagi dengan dasar pengenaan pajak menghasilkan presentasi yang sama. Umumnya tariff ini dikenakan pada pajak atau transaksi perpindahan harta.
  • Tarif Progressif, persentase pajak dibandingkan dengan dasar pengenaan pajak menghasilkan tariff yang selalu menaik. Hal ini disebabkan karena adanya penetapan tarif bertingkat. Umumnya pajak penghasilan dikenakan tarif ini.
  • Tarif Regresif, Persentase pajak yang selalu menurun dengan menaiknya dasar pengenaan pajak.
  • Tarif Tetap, pajak yang dikenakanpada suatu obyek tidak memperhitungkan nilai uang dari ojek pajak dan dikenakan dalam bentuk nilai uang tetap. Contoh tarif ini adalah Bea Meterai.

Tarif Penghasilan Orang Pribadi Dalam Negeri (UU PPH Ps. 17 (1) Huruf a.

Lampiran Penghasilan Kena Pajak (PKP) Setahun

Tarif Pajak

Sampai dengan Rp. 25.000.000,-

5% (Lima Persen)

Diatas Rp. 25.000.000,- s/d Rp. 50.000.000,-

10% (Sepuluh Persen)

Diatas Rp. 50.000.000,- s/d Rp.100.000.000,-

15% (Lima Belas Persen)

Diatas Rp. 100.000.000,- s/d Rp. 200.000.000,-

25% (Dua Puluh Lima Persen)

Diatas Rp. 200.000.000,-

35% (Tiga Puluh Lima Persen)

Tarif Pajak Penghasilan Badan dan bentuk Usaha Tetap

Lapisan Penghasilan Kena Pajak (PKP) Setahun

Tarif Pajak

Sampai dengan Rp. 50.000.000,-

10 %

Di atas Rp. 50.000.000,- sampai dengan

Rp. 100.000.000,-

15 %

Di atas Rp. 100.000.000,-

30 %

E. Perbedaan Zakat dan Pajak

Terdapat beberapa perbedaan pokok antara zakat dan pajak, yang menyebabkan keduanya tidak mungkin secara mutlak dianggap sama, meskipun dalam beberapa hal terdapat persamaan di antara keduanya. Beberapa perbedaan mendasar tersebut, antara lain sebagai berikut:

a. Dari segi nama

Secara etimologis, zakat berarti bersih, suci, berkah, tumbuh, maslahat, dan berkembang. Artinya setiap harta yang dikeluarkan zakatnya akan bersih, tumbuh, dan berkembang. Demikian pula bagi muzakki. Sedangkan pajak, berasal dari kata al-dharibah yang secara etimologis berarti beban. Kadangkala diartikan pula dengan al-jizyah yang berarti pajak tanah (upeti), yang diserahkan oleh ahli dzimmah (orang yang tetap dalam kekafiran, tetapi tunduk aturan pemerintahan Islam) kepada pemerintah Islam. Allah Swt berfirman dalam Surat at-taubah ayat 29,

(#qè=ÏG»s% šúïÏ%©!$# Ÿw šcqãZÏB÷sム«!$$Î/ Ÿwur ÏQöquø9$$Î/ ̍ÅzFy$# Ÿwur tbqãBÌhptä $tB tP§ym ª!$# ¼ã&è!qßuur Ÿwur šcqãYƒÏtƒ tûïÏŠ Èd,ysø9$# z`ÏB šúïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tFÅ6ø9$# 4Ó®Lym (#qäÜ÷èムsptƒ÷Éfø9$# `tã 7tƒ öNèdur šcrãÉó»|¹ ÇËÒÈ

“perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk.”

Tafsir Departemen Agama Republik Indonesia pada catatan kaki no. 638, memberikan keterangan bahwa yang dimaksud dengan jizyah adalah pajak kepala yang dipungut oleh pemerintah Islam dari orang-orang yang bukan Islam sebagai perimbangan bagi jamninan keamanan diri mereka sendiri.

b. Dari Segi Dasar Hukum dan Sifat Kewajiban

Zakat ditetapkan berdasarkan nash-nash Al-Qur’an dan hadist nabi yang bersifat qathi’, sehingga kewajibannya bersifat mutlak dan absolut sepanjang masa. Yusuf al_Qardhawi menyatakan bahwa zakat adalah kewajiban yang bersifat tetap dan terus-menerus. Ia akan berjalan terus selama Islam dan kaum muslimin ada di muka bumi ini. Seperti halnya shalat, zakat merupakan tiang agama dan pokok ajaran Islam. Ia merupakan ibadah dalam rangka taqarrub kepada Alloh Swt, karenanya memerlukan keikhlasan ketika menunaikannya, di samping sebagai ibadah yang mengandung berbagai hikmah yang sangat penting dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umat.

Sedangkan pajak, keberadaannya sangat bergantung pada kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam bentuk undang-undang. Di Indonesia, misalnya, hukum pajak besumber dan berdasarkan pada pasal 23 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 bahwa segala pajak untuk keperluan Negara berdasarkan undang-undang.

c. Dari Segi objek dan Persentase dan Pemanfaatan

Zakat, memiliki nishab (kadar minimal) dan persentase yang sifatnya baku, berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam berbagai habist Nabi. Demikian pula pemanfaatan dan penggunaan zakat, tidak boleh keluar dari asnaf yang delapan, sebagaimana tergambar dalam firman Alloh surat at-Taubah ayat 60, meskipun terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang kriteria dari masing-masing mustahik.

Sedangkan aturan besar dan pemungutan pajak sangat bergantung pada peraturan yang ada serta tergantung pula pada obyek pajaknya. Dalam berbagai literature dikemukakan bahwa besarnya pajak sangat tergantung pada jenis, sifat dan cirinya. Dilihat dari sifatnya terdapat berbagai macam pajak, yaitu sebagai berikut:

1. Pajak Pribadi

2. Pajak Kebendaan

3. Pajak atas Kekayaan

4. Pajak atas Bertambahnya kekayaan

5. Pajak Konsumsi

Jika zakat harus dipergunakan untuk kepentingan mustahik yang berjumlah delapan asnaf, maka pajak dapat dipergunakan dalam seluruh sector kehidupan, sekalipun dianggap sama sekali tidak berkaitan dengan ajaran agama. Muhammad Bagir al-Habsyi[13] mengemukakan bahwa perbedaan esensial antara zakat dan pajak antara lain sebagai berikut :

  1. Ketentuan kadar zakat yang diwajibkan oleh syariat atas masing-masing jenis harta, seperti 2,5 persen, lima persen, 10 persen, dan 20 persen yang tidak sama dengan kadar atau persentase pajak yang ditentukan oleh setiap pemerintahan atas setiap jenis penghasilan.
  2. Niat khusus yang menyertai pengeluaran zakat sebagai ibadah dan pendekatan diri kepada Alloh Swt yang tidak dapat dipersamakan dengan niat ketika membayar pajak kepada pemerintah.
  3. Ketentuan khusus tentang orang-orang atau lembaga-lembaga tertentu yang dperbolehkan maupun yang tidak dibolehkan menerima zakat, sebagaimana telah dirinci oleh Al-Qur’an dan hadist Nabi.

d. Zakat harta diwajibkan atas harta yang memenuhi beberapa syarat tertentu, Diantaranya harta tersebut merupakan kelebihan dari kebutuhan pokok, tidak punya hutang dan harus mencapai nishab tertentu bagi sebagian zakat, sedangkan pajak tidak diambil dengan memperhitungkan syarat-syarat tersebut, terkadang pajak ditarik dari orang miskin yang berada di bawah batas kecukupan dan sama saja apakah dia punya hutang atau tidak.

e. Zakat harta mempunyai pso-pos distribusi tertentu yang telah diketahui yaitu delapan golongan (asnaf), distribusi zakat sangat mementingkan unsur kemanusiaan dan tidak dibagikan sesuai dengan keinginan penguasa, sedang hasil dari pajak didistribusikan sesuai dengan ketentuan penguasa dan dimanfaatkan bersama oleh orang kaya dan miskin, bahkan terkadag pajak tersebut hanya dinikmati oleh orang kaya saja.

f. Baik secara teks maupun rih serta menghubungkan antara kaum fakir dengan orang kaya. Sedang sistem pajak konvensional kontemporer telah gagal dalam merealisasikan hal itu, setiap yang kami dengar tentang itu semua hanyalah nyanyian dan pemanis bibir belaka, bahkan sebaliknya terkadang pajak mengakibatkan sifat hasad dan kebencian antara manusia secara umum dan antara donator dengan instansi perpajakan secara khusus.

Perbedaan-perbedaan ini bukan dimaksudkan untuk mendorong manusia untuk tidak membayar pajak, sebaliknya ia adalah sebagian dari hak-hak masyarakat, untuk pembiayaan pelayanan umum yang berada di luar wilayah pos distribusi zakat, seperti keamanan, pendidikan, pengobatan dan lainnya. Jika ada penyimpangan dalam penggunaannya maka dosanya ditanggung oleh penguasa dan perangkatnya. Sedang kita wajib mendoakan dan mengajak mereka kepada kebaikan dan memerintahkan mereka kepada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar.[14] Wallahu’alam

  1. Kesimpulan

Dengan roh zakat yang dimasukkan ke dalam pajak, negara tidak lagi tumbuh sebagai sesuatu yang memangsa rakyatnya dengan beban-beban tersebut. Sebaliknya negara akan berperan sebagai representasi paling memadai dari nurani masyarakat untuk tegakya keadilan dan rahmat bagi masyarakat.

Kewajiban zakat mengandung tujuan yang bersifat moral spiritual. Seorang muslim merasa menjalankan kewajiban agama yang harus dipikulnya sekaligus menyadari bahwa harta yang dimilikinya adalah harta Allah. Dalam mensyukuri nikmat Allah itu, seorang muslim harus mengeluarkan sebagian dari harta yang dimilikinya untuk tujuan yang sesuai dengan kehendak Allah swt.

Pada pajak terlihat tujuan yang lebih bersifat material, yaitu sebanyak mungkin memasukkan materi ke dalam kas negara untuk membiayai kebutuhan negara. Dalam hal ini terkandung suatu pemikiran bahwa warga negara yang mendapat keuntungan dan perlindungan dalam negara harus mengimbanginya dengan membantu negara dengan cara memberikan sesuatu yang bersifat materi yang disebut pajak.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hafidhuddin, Didin, DR, KH, M.Sc. Zakat Dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani, 2008.

2. Rusli Achyar, Zakat=Pajak:Kajian Hermeneutik Terhadap Ayat-Ayat Zakat dalam al-Qur’an, Jakarta: Penerbit Renada, 2005.

3. Syahatah Husayn, DR. Akuntansi Zakat:Panduan Praktis penghitungan Zakat Kontemporer, Jakarta: Pustaka Progressif, 2004.

  1. www.ruzaqir.multiply.com

5. www.wawasandigital.com

6. www.pkpu.or.id

  1. www.community.um.ac.id

8. www.pesantrenvirtual.com



[1]www.ruzaqir.multiply.com

[2]Achyar Rusli, Zakat=Pajak (Kajian Hermeneutik Terhadap Ayat-Ayat Zakat dalam Al-Quran,(Jakarta Renada, 2005), hal. 35

[3]www.wawasandigital.com

[4] Achyar Rusli, Zakat=Pajak (Kajian Hermeneutik Terhadap Ayat-Ayat Zakat dalam Al-Quran, hal. 73

[5]www.pkpu.or.id

[6] Achyar Rusli, Zakat=Pajak (Kajian Hermeneutik Terhadap Ayat-Ayat Zakat dalam Al-Quran, hal. 51

[7] www.pkpu.or.id

[8] Achyar Rusli, Zakat=Pajak (Kajian Hermeneutik Terhadap Ayat-Ayat Zakat dalam Al-Quran, hal. 91

[9] www.pkpu.or.id

[10] www.community.um.ac.id

[12] Achyar Rusli, Zakat=Pajak (Kajian Hermeneutik Terhadap Ayat-Ayat Zakat dalam Al-Quran, hal.75

[13] Muhammad Bagir al-Habsyi, Fiqh Praktis, (Bandung: 1999), hal. 327.

[14] Husayn Syahatah, Akuntansi Zakat:Panduan praktis Penghitungan Zakat Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Progressif, 2004), hal. 23-25